Breaking Posts

6/trending/recent

Hot Widget

Type Here to Get Search Results !

Ads

Hakim MK Saldi Isra Soroti Istilah Populer “No Viral No Justice”

Yogyakarta — Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Saldi Isra, menegaskan bahwa konsep no viral no justice yang sering muncul sebagai kritik sosial tidak dapat diterapkan pada proses pengujian undang-undang di lembaganya. Menurutnya, viralitas kasus di media sosial mungkin berpengaruh pada perkara konkret di lapangan, namun hal itu tidak relevan bagi MK yang menangani perkara bersifat abstrak.

Dalam Dialog Konstitusi di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Jumat (14/11), Saldi menjelaskan bahwa anggapan keadilan harus didahului dengan viralnya suatu kasus tidak memiliki tempat dalam mekanisme kerja MK.
“Dalam konteks kasus yang abstrak, itu tidak bisa,” ujarnya dalam keterangannya yang dibagikan Biro Humas UMY.

Pengaruh Opini Publik Dinilai Terbatas

Saldi mencontohkan beberapa kasus konkret yang pernah menyedot perhatian publik, seperti perkara pencurian tiga buah kakao di perkebunan PT Rumpun Sari Antan (RSA) pada 2009, serta kasus guru Abdul Muis dan Rasnal di Sulawesi Selatan yang dipecat karena meminta bantuan orang tua murid untuk membayar honor guru honorer.
Ia menyebut kasus-kasus tersebut memang erat kaitannya dengan opini publik. Namun, untuk perkara pengujian undang-undang yang menjadi wewenang MK, Saldi menilai belum ada bukti kuat bahwa opini publik dapat memengaruhi hakim.
“Seberapa jauh opini publik memengaruhi hakim, saya belum menemukan buktinya,” tegasnya.

Intervensi Tidak Bisa Dihindari, Integritas Hakim Jadi Kunci

Saldi juga menyinggung pentingnya menjaga independensi hakim MK. Ia mengakui bahwa anggapan hakim tidak boleh diintervensi sama sekali adalah sesuatu yang terlalu ideal.
“Wajar saja orang berupaya mengintervensi atau memengaruhi MK, dengan kewenangan sebesar itu,” katanya.
Karena itu, menurut Saldi, tantangan sesungguhnya terletak pada kemampuan menemukan hakim yang memiliki ketahanan integritas sehingga tidak mudah terpengaruh tekanan politik maupun opini massa.

Bandingkan Proses Seleksi Hakim RI dan AS

Dalam paparannya, Saldi turut membandingkan proses seleksi hakim di Indonesia dengan Amerika Serikat. Ia menyebut proses seleksi hakim agung di AS jauh lebih kental kepentingan politik, bahkan sampai munculnya court of ethics pada 2023 setelah kasus etik yang melibatkan Hakim Clarence Thomas. Ironisnya, kata Saldi, aturan etik tersebut tetap tidak memiliki mekanisme penegakan yang jelas.
Sebaliknya, MK RI dinilai telah memiliki mekanisme penegakan etik yang berjalan, terbukti dari pemberhentian Akil Mochtar dan Patrialis Akbar karena pelanggaran etik serius.
“Artinya, sistem bekerja,” ujarnya.

Pesan untuk Mahasiswa Hukum

Menutup pemaparannya, Saldi menekankan pentingnya menjaga integritas pribadi, termasuk dengan tidak terlalu aktif di media sosial agar terhindar dari arus informasi yang tidak terverifikasi. Ia juga berpesan kepada mahasiswa fakultas hukum untuk menjadikan putusan pengadilan sebagai bacaan utama di samping buku teks. Menurutnya, konsistensi putusan MK berkaitan erat dengan prinsip nebis in idem, yakni mencegah norma yang telah diuji untuk diuji kembali kecuali dengan alasan yang berbeda. *

Baca Juga

Post a Comment

0 Comments
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.

Top Post Ad

Below Post Ad

Mari bergabung bersama WA Grup dan Channel Telegram Lensaislam.com, Klik : WA Grup & Telegram Channel

Ads Bottom

Copyright © 2023 - Lensaislam.com | All Right Reserved