Breaking Posts

6/trending/recent

Hot Widget

Type Here to Get Search Results !

Sosok Abdurrahman Baswedan, Kakek Anies Baswedan yang Diangkat Jadi Pahlawan Nasional


Lensaislam.com :
Abdurrahman Baswedan atau populer dengan nama A.R. Baswedan (9 September 1908 – 16 Maret 1986) Semasa hidupnya, dia dikenal sebagai seorang jurnalis, diplomat. A.R. Baswedan pernah menjadi Wakil Menteri Muda Penerangan RI pada Kabinet Sjahrir, Anggota Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP), Anggota Parlemen, dan Anggota Dewan Konstituante. A.R. Baswedan adalah salah satu diplomat pertama Indonesia dan berhasil mendapatkan pengakuan de jure dan de facto pertama bagi eksistensi Republik Indonesia dari Mesir.

A.R. Baswedan juga dikenal sebagai tokoh intelektual Muslim. A.R. Baswedan dianugerahi gelar pahlawan nasional berdasarkan SK Presiden Nomor 123/TK Tahun 2018. A.R. Baswedan lahir di Kampung Ampel, Surabaya, Jawa Timur, itu memiliki nama lengkap Abdurrahman Awad Baswedan.

Awad merujuk pada nama ayahnya. Baswedan sebagai nama klan Arab pertama kalinya diperkenalkan dua bersaudara, yakni Ali dan Umar. Kakak-beradik itu tidak lain putra Abu Bakar bin Muhammad bin Abdullah.

Sekitar pertengahan abad ke-19, Umar Baswedan yang hijrah dari Kota Syibam, Hadramaut (Yaman), menikah dengan seorang gadis asal Surabaya, Noor binti Salim. Pasangan tersebut dikaruniai 10 orang anak. Di antaranya adalah Awad, yang kelak menurunkan Abdurrahman Baswedan.

Suratmin dalam buku Abdul Rahman Baswedan: Karya dan Pengabdiannya (1989) menuturkan, Abdurrahman (AR) Baswedan mendapatkan pendidikan dasar sejak usia lima tahun.

Pria yang bernama kecil bagus itu karena wajahnya yang rupawan mula-mula belajar di Madrasah al-Khairiyah, dekat Masjid Sunan Ampel Surabaya.

Namun, dia terpaksa pindah karena merasa tidak nyaman dengan intimidasi anak-anak dari klan Arab yang mengklaim superior. Dia meneruskan belajar di Madrasah al-Irsyad, Batavia (Jakarta), yang diasuh Syekh Ahmad Surkatie.

Walaupun senang bersekolah di sana, dia harus kembali ke Surabaya untuk mendampingi ayahnya yang jatuh sakit. Pilihannya lantas tertuju pada Hadramaut School yang tergolong modern.

Abdurrahman kecil suka menyibukkan diri dengan membaca banyak buku. Pada masa ini, minatnya terhadap kesusastraan mulai tumbuh. Sewaktu berusia 12 tahun, dia mengikuti kursus persiapan calon pegawai rendahan (Nederlands verbond) semata-mata untuk mempelajari bahasa Belanda.

Orang tuanya berpandangan terbuka. Awad Baswedan mendorong anak-anaknya agar mampu membaca dan menulis dalam huruf Latin, di samping cermat mengatur keuangan.

Tidak mengherankan bila mereka punya semangat belajar yang tinggi dan penuh disiplin. Keluarga ini juga menggemari pustaka. Buku-buku koleksinya berjumlah ribuan dan terdiri atas banyak bahasa: Arab, Belan da, Inggris, Melayu, dan lain-lain.

Beranjak dewasa, AR Baswedan mempersunting Syeikhun, putri pamannya sendiri. Sang paman yang akhirnya menjadi mertuanya itu merupakan pendukung golongan Ba' Alawi.

Seorang Ba'Alawi dikenali dengan sayyid, sebagai penghormatan lantaran pertalian darahnya sampai pada Rasulullah SAW. Berbeda dengan keluarga besan, Abdurrahman tidak terlalu mempersoalkan strata berdasarkan silsilah. Dalam hal ini, dia cukup dipengaruhi corak demokratis yang diterapkan Madrasah al-Irsyad.

Sejak awal menikah, istrinya tahu bahwa suaminya itu berkecimpung di organisasi. AR Baswedan mulanya aktif sebagai dai Majelis Tabligh Muhammadiyah. Dalam sebuah ceramah, seorang jamaah bertanya kepadanya dengan nada retoris, apakah orang dapat beribadah bila perutnya kosong?

Pertanyaan ini menggugah kesadarannya. Sebab, isu-isu perjuangan kelas ekonomi dan keadilan sosial tidak hanya monopoli gerakan komunis, yang saat itu mulai merebak di kota-kota besar.

Dia melihat masih banyak juru dakwah Islam yang kurang menyadari hal itu. AR Baswedan lalu bergabung dengan Perhimpunan Pemuda Islam (Jong Islamieten Bond/JIB).

Karena memahami dunia dakwah, dia ditugas kan memberikan ceramah bagi JIB Dames Afdeeling, semacam badan semiotonom yang diisi kaum Hawa.

Hal itu membuktikan keberpi hak annya pada emansipasi perempuan. Abdurrahman tumbuh menjadi pemuda yang idealis. Peristiwa Sumpah Pemuda 1928 begitu menginspirasinya.

Dia bercita-cita menyatukan seluruh komunitas Arab Hadramaut di Indonesia, serta menyebarkan kesadaran tentang arti penting Indonesia sebagai Tanah Air satu-satunya.

Beberapa kurun setelah tonggak historis tersebut, AR Baswedan yang masih berusia 27 tahun menginisiasi Konferensi Peranakan Arab di Semarang (Jawa Tengah) pada 4 Oktober 1934.

Terselenggaranya acara itu merupakan buah kerja keras bertahuntahun sebelumnya, sekaligus mencerminkan pencarian jati diri seorang AR Baswedan. Pada 1932, dia pergi ke Surabaya untuk melanjutkan bisnis yang digerakkan mertuanya.

Secara kebetulan, dia berkenalan dengan pemimpin redaksi harian Tionghoa Melayu, Liem Koen Hian. Figur yang juga pendiri Partai Tionghoa Indonesia (PTI) itu menawarkan pekerjaan kepadanya sebagai staf redaksi. Abdurrahman setuju, sehingga mulai bekerja di koran Sin Tit Po yang berhaluan nasionalis.

Sumber : Harian Republika | Lensaislam.com | Indonesian Islamic News Forum (IINF)

Baca Juga

Post a Comment

0 Comments
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.

Below Post Ad

Mari bergabung bersama WA Grup dan Channel Telegram Lensaislam.com, Klik : WA Grup & Telegram Channel

Copyright © 2023 - Lensaislam.com | All Right Reserved