Oleh: Dedeh Kurniasih, M.Pd*
Ruang kelas di Sekolah Indonesia Luar Negeri (SILN) di Riyadh,
Arab Saudi menghadirkan pemandangan yang jarang ditemui di sekolah biasa. Di
sana, anak-anak dengan beragam bahasa ibu, budaya, dan latar belakang keluarga
belajar bersama di bawah bendera Merah Putih.
Dari pernikahan campuran antara Indonesia dengan warga
Bangladesh, Mesir, Yaman, Pakistan, hingga Saudi Arabia, lahirlah generasi muda
diaspora yang membawa identitas ganda dan pandangan hidup yang berbeda.
Di kelas, didapati ada siswa yang sehari-hari berbahasa Arab, ada yang berbahasa Inggris, bahkan ada yang bahasa Indonesianya hanya digunakan di sekolah. Mereka juga datang dari keluarga dengan pola asuh dan kebiasaan yang sangat berbeda.
Perbedaan ini tidak hanya terlihat dalam bahasa, tetapi juga dalam cara berpikir, berinteraksi, dan memaknai pembelajaran.
Anak-anak ini tumbuh di dua dunia, budaya Indonesia dan
budaya negara tempat mereka tinggal. Ada yang lebih ekspresif, ada yang sangat
sopan dan tertutup. Semua itu perlu dipahami guru agar pembelajaran bisa
bermakna.
Keragaman bahasa, budaya, dan latar belakang keluarga
menjadikan Sekolah Indonesia Luar Negeri (SILN) di Arab Saudi sebagai
laboratorium nyata inklusivitas pendidikan.
Pengaruh Pola Asuh dan Ekonomi Orang Tua
Sebagian besar orang tua siswa di Sekolah Indonesia Luar
Negeri (SILN) bekerja di sektor yang menuntut waktu panjang, bahkan hingga
larut malam. Pola ekonomi dan pekerjaan di Saudi Arabia yang cenderung 24 jam
turut mempengaruhi intensitas pengasuhan di rumah. Akibatnya, ada anak yang
sangat mandiri, tetapi ada pula yang menunjukkan ketergantungan tinggi terhadap
orang tua atau guru.
Perbedaan kondisi ekonomi dan pendidikan orang tua juga
sangat terasa. Ada yang sangat mendukung kegiatan akademik anaknya, ada pula
yang menyerahkan sepenuhnya kepada sekolah.
Kondisi ini menuntut sekolah untuk menghadirkan pendekatan
inklusif, di mana setiap anak mendapatkan ruang belajar sesuai kebutuhannya.
Kelas Inklusif sebagai Solusi
Keragaman yang tajam ini mendorong penerapan kelas inklusif
di Sekolah Indonesia Luar Negeri (SILN) ini. Dalam kelas inklusif, guru berupaya
memahami dan mengakomodasi kebutuhan setiap anak, baik yang cepat memahami
pelajaran maupun yang memerlukan waktu lebih lama. Prinsipnya, semua anak
berhak mendapat kesempatan yang sama untuk berkembang sesuai potensinya.
Pada mata kuliah “Multi Perspektif Perkembangan Anak,” yang
saya ikuti kelasnya di Universitas Negeri Surabaya (UNESA), didapat banyak
memahami dan membantu dinamika ini. Melalui mata kuliah ini, saya belajar
melihat anak dari berbagai sisi, baik biologis, psikologis, sosial, dan kultural,
yang membuat saya lebih sadar bahwa tidak ada satu cara mengajar yang cocok
untuk semua anak.
Belajar dari Keberagaman
Bagi guru Indonesia yang mengajar di luar negeri, pengalaman
ini menjadi pelajaran berharga. Karena mengajar di Sekolah Indonesia Luar
Negeri (SILN) membuat sadar bahwa
keberagaman bukan tantangan, tetapi kekayaan. Di sinilah guru belajar bukan
hanya mengajar, tetapi memahami manusia dalam segala dimensinya.
Melalui pendekatan inklusif yang berpihak pada kebutuhan
peserta didik, guru-guru Indonesia di SILN menunjukkan bahwa pendidikan sejati
adalah tentang menghargai perbedaan dan menumbuhkan potensi setiap anak, tak
peduli apa bahasa ibunya, dari mana asal orang tuanya, atau budaya apa yang
membentuknya.
Ini adalah gambaran nyata perjuangan guru Indonesia di Sekolah
Indonesia Luar Negeri (SILN) di Arab Saudi dalam mewujudkan pembelajaran yang
inklusif, adaptif, dan berkeadilan sosial di tengah keberagaman global.
*Penulis adalah guru di Sekolah Indonesia Luar Negeri (SILN) di Riyadh, Arab Saudi dan mahasiswa S3 Pendidikan Anak Usia Dini di Universitas Negeri Surabaya